SURAH
AL-HUJURAT AYAT 13
AsepKusnadi
Ibrohim Saefudin
ABSTRAK
Pancasila
adalah dasar bangsa Indonesia yang memiliki fungsi dalam kehidupan
bermasyarakat. Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa, kepribadian bangsa,
pandangan hidup bangsa, sumber dari segala sumber hukum dan sumber ilmu
pengetahuan di Indonesia. Keragaman dalam masyarakat merupakan satu hal yang sangat
penting bagi kehidupan bermasyarakat di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagaimana dalam Pancasila, sila ketiga yang berbunyi “Keragaman Indonesia”,
hal ini diamini pula dalam al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 13 yang membahas
tentang maknakeragaman dari nilai Pancasila yang adadi dalamnya. Akan tetapi, melihat fakta yang ada
sekarang banyaknya fenomena yang kehilangan makna dari nilai Pancasila. Karenaitusangat penting untuk menanamkan kembali nilai-nilai keragamandarinilaisila ketiga kepada masyarakat Indonesia.Adapun tujuan
dalam penelitian ini adalah: (1) Mengetahui nilai-nilai keragaman pada Pancasila perspektif al-Qur’an surah al-Hujurat
ayat 13, (2) mengetahui relevansi nilai-nilai keragaman pada Pancasila
perspektif al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 13 dengan kehidupan sosial masa
kini.
Pendahuluan
Keragaman
dalam masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting, terutama bagi
kehidupan bermasyarakat di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana
dalam Pancasila, sila ketiga yang berbunyi “Keragaman Indonesia”. Pancasila adalah dasar bangsa Indonesia yang mempunyai
fungsi dalam hidup dan kehidupan masyarakatnya. Menurut Jalaludin
(2014:173), Pancasila
juga sebagai alat pemersatu bangsa, kepribadian bangsa, pandangan hidup bangsa,
sumber dari segala sumber hukum dan sumber ilmu pengetahuan di Indonesia.DikuatkanolehPandjiSetijo
( 2015: 20), keragaman berasal dari kata
satu, berarti utuh, tidak tepecah belah, mengandung bersatunya bermacam corak
yang beraneka ragam yang bersifat kedaerahan menjadi satu kebulatan secara
nasional, juga keragaman segenap unsur NKRI dalam mewujudkan secara nyata
Bhineka Tunggal Ika yang meliputi wilayah, sumber daya alam dan sumber daya
manusia dalam kesatuan yang utuh. Indonesia adalah bangsa yang besar, menurut
BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2010 tercatat ada 1.211 bahasa daerah, 1.340
suku bangsa, dan terdapat 17.504 pulau (AM Setiawan, 2019).
Hasil penelitian Pusat Badan Penelitian dan
Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, temuan penelitian di
Singkawang dan Salatiga, banyak praktik baik yang dilakukan sekolah dalam
memelihara toleransi dan kebhinekaan. Namun, ketika diminta mengisi kuesioner
tentang sikap kebhinekaan, masih ada sebagian siswa (sekitar 25 persen) yang
merasa lebih nyaman berteman dengan yang seetnis dan seagama. "Sedangkan
dalam memilih ketua OSIS, sekitar hampir 20 persen ragu untuk memilih dari
agama atau etnis mayoritas. Serta lebih dari 40 persen siswa ragu memilih
pemimpin masyarakat yang seagama atau seetnis," ungkap Nur. Meski
demikian, hasil penelitian menunjukkan mayoritas lingkungan pendidikan di kedua
wilayah itu cukup toleran terhadap perbedaan. Hal ini ditunjukan pada jawaban
atas pertanyaan seperti memberikan ucapan selamat hari raya kepada teman
sekolah yang berbeda agama. Sebanyak 57,5 persen sangat setuju; 30,6 persen setuju;
10 persen ragu-ragu; 1,3 persen tidak setuju; dan 0,6 persen sangat tidak
setuju.
Penelitian
ini mengungkapkan benih intoleransi muncul karena berbagai faktor, seperti
tingkat pemahaman akan nilai kebangsaan yang sempit di sekolah, penanaman nilai
agama yang eksklusif, hingga faktor keluarga yang masih kuat ikatan
primordialnya (EstuSuryowati, 2019).Maka dari
itu, sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai keragaman terutama sila ketiga
kepada masyarakat di Indonesia, mengingat banyaknya fenomena yang kehilangan
makna dari nilai Pancasila di dalamnya. Padahal manusia dengan potensi yang ada padanya, memiliki
kebebasan untuk mengembangkan segala yang ada di dalam dirinya. Namun, dalam
perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari batas-batas tertentu, yaitu
hukum-hukum yang mengikat, sebagaimana dalamQS. al-Hujuratayat
13.
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah swt ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah swt Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Melalui ayat di atas, tergambar jelas bahwa Islam menolak
pembedaan rasial, politik, suku, golongan, geografis, ekonomi, intelektual, budaya,
sosial dan militer, serta menempatkan takwa kepada Allah swt sebagai standar
untuk membedakan antara kebajikan dan kejahatan.
Metode Penelitian
Penelitian ini
menggunakan jenis Library
Research (penelitian
kepustakaan). Teknik pengumpulan data
pada penelitian ini
adalah metode dokumentasi, dengan
memperoleh data dari
benda-benda tertulis seperti
buku, majalah, dokumen dan
peraturan. Metode yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan
pendekatan tafsir maudhu’i atau tematik. Metode ini dilakukan dengan
cara menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat yang berkenaan dengan topik
pembahasan tertentu, untuk mencari informasi dari suatu persoalan. Sebagaimana
M. Quraish Shihab (1999:114), menjelaskan bahwa tafsir tematik adalah karya-karya tafsir
yang menetapkan suatu topik tertentu, dengan cara menghimpun seluruh atau
sebagian ayat dari beberapa surah yang membahas tentang topik tersebut,
kemudian dikaitkan dengan yang lainnya, sehingga dapat diambil kesimpulan menyeluruh
tentang masalah tersebut menurut pandangan al-Qur’an.
KajianTeori
Pancasila menurut Budi Juliardi (2016: 19) berasal dari bahasa Sanskerta,
terdiri dari dua kata, panca artinya ‘lima’ dan syila yang berarti ‘dasar, batu, sendi,
alas’, sedangkan syiila berarti ‘aturan, tingkah laku yang baik’. Bisa
dikatakan Pancasila adalah lima dasar tentang kesusilaan atau lima ajaran
tentang tingkah laku.Secara harfiah Pancasila memiliki arti ‘dasar yang
memiliki lima unsur’. Banyak ahli yang menyimpulkan bahwa Pancasila adalah
cerminan dari perjalanan budaya dan karakter bangsa Indonesia yang telah
berlangsung selama berabad-abad lampau (Ubaedillah, 2016:35).Menurut Soekarno, Pancasila adalah
jiwa atau kepribadian bangsa Indonesia,
tanpa Pancasila, kata Armada Riyanto (2015: 18) Indonesia pasti menjadi bangsa yang
tidak memiliki jiwa. Jiwa inilah yang harus digali dari dalam diri bangsa
Indonesia, kristalisasi jiwa ini adalah sila-sila dalam Pancasila.Azis
menjelaskan, bahwa Pancasila adalah dasar bangsa Indonesia yang mempunyai
fungsi dalam hidup dan kehidupan masyarakatnya. Selain itu, Pancasila juga
sebagai alat pemersatu bangsa, kepribadian bangsa, pandangan hidup bangsa,
sumber dari segala sumber hukum dan sumber ilmu pengetahuan di Indonesia.
Berdasarkan teori di atas, maka Pancasila menurut penulis
ialah suatu pedoman bangsa Indonesia untuk menjalankan kehidupan ini.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila adalah nilai universal, sehingga
ini dapat diterapkan oleh lapisan masyarakat di Indonesia, walaupun berbeda
dalam hal agama, suku budaya, etnis ataupun ras.
Pengertian Keragaman
KeragamanmenurutKetutRindjin
(2012: 125), berasal dari kata “satu”,
yang berarti “utuh, tidak terpecah”.
Jadi keragaman berarti wujud keutuhan, yang dibentuk melalui proses penyatuan
dari berbagai unsur.Dalam bahasa Arabmenurut Ahmad WarsonMunawwir (1542) berasal dari
kata الوَحْدَةُ: ضِدُّ الكَثْرَةِ, الاِتِّحَادُ yang artinya kesatuan, keragaman. Keragaman
dalam bahasa Inggris disebut unity yang artinya kesatuan, keragaman,
penyatuan (Atabik Ali, 2010: 909). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia(1995: 883) keragaman adalah gabungan (ikatan, kumpulan) beberapa
bagian. Sedangkan menurut istilah diartikan sebagai bentuk kecenderungan
manusia yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan melakukan pengelompokan sesama
manusia untuk mencapai tujuan.
Salah
satu cita yang terdapat dalam Pancasila adalah cita integralistik yang secara
khusus tertuang dalam sila ke-3, yang berbunyi “Keragaman Indonesia”. Menurut
Darmodiharjo, keragaman mengandung pengertian bersatunya bermacam corak yang
beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Sedangkan Indonesia yang dimaksud dalam
sila ke-3 ini mengandung makna bangsa dalam arti politis, yaitu bangsa yang
hidup di dalam wilayah tersebut. Jadi, keragaman Indonesia adalah keragaman
bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Bangsa yang mendiami wilayah Indonesia
ini bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas
dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Sidarta menjelaskan, keragaman Indonesia merupakan
faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia, bertujuan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,
di samping melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam
rangka keragaman Indonesia ini, hendaknya dapat dikembangkan pola pikir Bhineka
Tunggal Ika demi terwujudnya keragaman dan kesatuan bangsa. Hal ini penting,
mengingat faktor-faktor objektif bangsa Indonesia, seperti jumlah pulaunya yang
mencapai lebih dari 17.000 pulau, sekitar 360 suku bangsa dengan latar belakang
budaya dan bahasa yang berbeda, juga terdapat lima agama besar di samping
aliran-aliran kepercayaan.Menurut Bambang Pranowo (2010: 7), penjelasan yang paling mudah tentang pengertian keragaman
Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika, yaitu meskipun berbeda-beda tetap satu,
berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, dan
berbahasa satu bahasa Indonesia.
Berdasarkan teori di atas, maka keragaman menurut penulis
ialah sebuah proses bersatunya berbagai
macam kelompok yang beraneka ragam, yang dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk
mencapai tujuannya, seperti memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial
Al-Qur’an Surah Al-Hujurat Ayat 13PerspektifAhliTafsir.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَ
أُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah swt ialah orang
yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah swt Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.”
Ayat
tersebut secara jelas menegaskan bahwa adanya perbedaan jenis kelamin
(laki-laki dan perempuan), juga adanya keanekaragaman (pluralitas) suku,
bangsa; termasuk agama, ras, budaya, bahasa dan lain-lain yang kesemuanya itu
merupakan konsekuensi dari adanya perbedaan suku maupun perbedaan bangsa, tidak
lain adalah ketentuan Allah swt ketika manusia diciptakan
(AqilIrham, 2013).Kamal
Faqih Imani (2013: 358-359) menuliskan dalam tafsir Nurul Quran, ayat ini menyatakan
bahwa penciptaan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
menunjukkan bahwa silsilah manusia berawal dari nabi Adam as dan Hawa. Semua
manusia berasal dari akar yang sama, sehingga membangga-banggakan silsilah,
kabilah, dan suku menjadi kurang ada artinya. Allah SWT menciptakan karakteristik yang berbeda pada setiap suku
bukan sebagai diskriminasi, melainkan untuk memelihara tatanan sosial, karena
karakteristik yang berbeda justru memberikan “kekayaan” dalam jatidiri
kelompok-kelompok manusia.Kamal Faqih Imani, Abdullah (2017:132), menjelaskan ayat ini bahwa
Allah SWTseraya memberitahukan kepada umat manusia bahwa Dia (Tuhan YME) telah
menciptakan mereka dari satu jiwa yaitu Adam as dan Hawwa, kemudian Dia
menjadikan manusia berbangsa-bangsa serta bersuku-suku agar saling mengenal.
Dalam Tafsir Al-Misbah, Muhammad Quraish Shihab (2003: 260), menjelaskan bahwa ayat ini menguraikan
tentang prinsip dasar hubungan antar manusia. Penggalan ayat pertama tersebut “Sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan” adalah pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusia
derajat kemanusiaannya sama di sisi Allah SWT, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan yang
lain, juga tidak ada perbedaan pada nilai kemanusiaan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan.Dijelaskan lebih
lanjut dalam surah Ali Imran ayat 103 menjelaskan tentang bagaimana manusia
yang beraneka ragam bersatu di jalan Allah swt.
وَٱعْتَصِمُوا۟
بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم
بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا
”Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah swt, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah swt kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah swt mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah swt, orang-orang yang bersaudara” (QS. Ali Imran: 103)
Berpegang teguhlah, yakni upayakan sekuat tenaga untuk mengaitkan diri satu
sama lain dengan tuntunan Allah swt sambil menegakkan disiplin kamu semua tanpa
kecuali. Sehingga jika ada yang lupa ingatkan dia, atau ada yang tergelincir
bantu dia bangkit, agar semua dapat bergantung kepada tali (agama)
Allah swt. Kalau kamu lemah atau ada orang yang menyimpang, maka
keseimbangan akan kacau dan disiplin akan rusak, karna itu bersatu padulah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah swt padamu.
Bandingkanlah keadaan kamu sejak datangnya Islam dengan ketika kamu dahulu
pada masa Jahiliyah bermusuh-musuhan, yang ditandai oleh peperangan yang
berlanjut sekian lama, maka Allah SWT mempersatukan hati kamu pada satu jalan dan arah yang sama lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah SWT, yaitu dengan agama Islam, orang-orang
yang bersaudara; sehingga kini tidak ada lagi bekas luka di hati kamu masing-masing.
Penyebutan nikmat ini merupakan argumentasi keharusan memelihara keragaman dan
kesatuan yang berdasar pengalaman merekaKeragaman dan kesatuan akan terpelihara
jika adanya rasa cinta tanah air dari dalam diri individu atau kelompok. Rasa
cinta tanah air bisa direalisasikan dengan mendoakan negeri sendiri, sebagaimana
yang Nabi Ibrahim as, dalam Surah al Baqarah ayat 126:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا
آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Artinya:
"Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini,
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman kepada Allah dan hari kemudian...". (QS: Al-Baqarah:
126).
Mendoakan
negeri sendiri adalah salah satu sifat cinta tanah air, karena memang sudah
seharusnya setiap penduduk suatu negeri menginginkan negeri yang ditempatinya
aman dan tentram. Ayat ini mengandung isyarat tentang perlunya setiap muslim
berdoa untuk keselamatan dan keamanan wilayah tempat tinggalnya dan juga agar
penduduknya memperoleh rezeki yang melimpah.Perlu kita cermati juga, bahwa nabi
Ibrahim as memohon keamanan terlebih dahulu, setelahnya beliau memohon karunia
materi yang dapat terwujud apabila status ekonomi yang baik dan keamanan negeri
atau daerah terjamin.
Dengan
adanya rasa cinta tanah air, maka akan tumbuhlah sikap atau jiwa yang rela
berkorban untuk negeri sendiri (jihad). Allah tidak melarang jihad, sebagaimana
dalam al Qur’an Surah al Anfal ayat 60:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا
تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا
تُظْلَمُونَ
Artinya: “Dan siapkanlah untuk (menghadapi) mereka
apa yang kamu mampu dari kekuatan dan dari kuda-kuda yang ditambat. (Dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuh kamu dan orang-orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahui siapa mereka; Allah mengetahui mereka.
Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan
sempurna kepada kamu dan kamu tidak akan dianiaya.” (Q.S. Al-Anfal: 60).
Perintah
mempersiapkan “kekuatan”
bermacam-macam tafsirannya, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah
benteng pertahanan. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah segala
macam sarana. Negara tidak boleh menggunakan kekuatannya untuk kepentingan perorangan,
betapapun tinggi kedudukan orang tersebut. Di sisi lain perlu dicatat bahwa
penggunaan senjata untuk membela diri, wilayah, agama, dan negara sama sekali
tidak dapat disamakan dengan teror.
Allah SWT memerintahkan mereka untuk bersatu dalam jamaah dan melarang berpecah
belah. Hadis Rasulullah saw yang melarang perpecahan dan menyuruh menjalin keragaman.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَسْخَطُ
لَكُمْ ثَلَاثًا: يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهِ
شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلَا تَفَرَّقُوْا،
وَأَنْ تُنَاصِحُوْا مَنْ وَلَّاهُ اللهُ أَمْرَكُمْ، وَيَسْخَطُ لَكُمْ قِيلَ
وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ.
“Sesungguhnya Allâh
meridhai kalian dalam tiga perkara dan membenci kalian dalam tiga perkara. Dia
meridhai kalian jika kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apa pun, berpegang teguh pada tali Allâh dan tidak bercerai
berai dan memberi nasehat kepada ulil amri (pemimpin) yang mengurus urusan
kalian. Dan Allâh membenci kalian dalam tiga perkara, yaitu banyak bicara
(menyampaikan perkataan tanpa mengetahui kebenarannya, menyia-nyiakan harta (berlebihan,
boros), dan banyak bertanya (yang tidak penting).”
Dan yang dikhawatirkan terhadap mereka adalah akan terjadi
perpecahan dan perselisihan, maka Allah SWT menurunkan Islam, di antara mereka
pun memeluknya, jadilah mereka bersaudara dan saling mencintai karena Allah SWT, saling menyambung hubungan dan
tolong menolong dalam kebajikan dan ketakwaan.
Islam menolak semua pembedaan rasial, politik, suku,
golongan, geografis, ekonomi, intelektual, budaya, sosial dan militer, serta
yang menjadi standar nilai benar ditentukan oleh ketakwaan kepada Allah SWT. Artinya, kedekatan dengan Allah SWT hanya bisa diraih melalui takwa
kepada-Nya. Dijelaskan lebih lanjut,
ketika melaksanakan haji wada, nabi Muhmmad saw berpesan: “Wahai seluruh
manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, tiada kelebihan orang Arab atas non Arab,
tidak juga non Arab atas orang Arab, atau orang berkulit hitam atas orang
berkulit putih, begitu juga sebaliknya, kecuali dengan ketakwaan, sesungguhnya
semulia-mulia kamu di sisi Allah SWT adalah yang
paling bertakwa” (HR. Al-Baihaqi melalui Jabir Ibn Abdillah). Imam Muslim meriwayatkan dari
Abu Hurairah, ia berkata ‘Rasulullah SWT bersabda’:
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ
يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah swt tidak melihat rupa dan harta benda kalian, tetapi
Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian (HR. Muslim dari Abu Hurairah, juz VII, hal
11, no. 6708).
Takwa kepada Allah swt adalah sebuah kualitas jiwa yang
menjadikan pemiliknya selalu tunduk di hadapan perintah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Namun demikian, tak sedikit orang yang merasa memiliki kualitas tersebut,
tetapi hanya sedikit orang yang benar-benar memilikinya (secara murni). Kerena
itu dalam surah al-Hujurat ayat 13 Allah SWT tutup dengan pernyataan bahwa, Allah
swt mengenal dengan baik orang-orang yang sholeh dan sangat mengetahui derajat
ketakwaan, ketulusan niat dan kemurnian hati setiap orang. Dia mencintai mereka
berdasarkan kemahatahuan-Nya dan melimpahkan kenikmatan kepada mereka.
Sama seperti surah al-Hujurat ayat 13, pada surah an-Nisa
ayat 1 Allah SWT menyuruh kepada manusia untuk bertakwa kepada-Nya serta saling
memelihara silaturahmi dan jangan sampai kita memutuskan hubungan persaudaraan.
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ
وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah swt menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah swt memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Dan bertakwalah kepada Allah swt yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah swt selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. An-Nisa:
1)
Pada ayat ini dijelaskan, Allah swt
mengajak seluruh umat manusia tanpa terkecuali untuk menjaga kesatuan dan keragaman,
saling membantu, menumbuhkan rasa kasih dan sayang, karena semua manusia
berasal dari satu keturunan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, kecil dan besar, beragama
atau tidak beragama.
Semua dituntut untuk
menciptakan kedamaian dan rasa aman dalam masyarakat, serta saling
menghormati hak-hak asasi manusia.
Para ulama tidak memiliki perbedaan
penafsiran atau pandangan mengenai tafsiran surah al-Hujurat
ayat 13 ini, hanya saja cara menjelaskannya yang sedikit berbeda satu
sama lainnya. Ayat ini menjelaskan tentang hakikat manusia yang diciptakan oleh
Allah swt melalui seorang ayah dan ibu yang berbeda-beda, tetapi proses
terciptanya manusia itu semuanya sama. Sedangkan surah an-Nisa ayat 1 ini
menjelaskan banyaknya manusia di dunia ini hingga menciptakan sebuah perbedaan
suku ataupun ras, mereka terlahir dari
seorang ayah, yakni Adam dan seorang ibu, yakni Hawa. Karena itu sangat tidak
wajar jika ada seseorang menghina atau merendahkan orang lain.
Mengenai kata شُعُوبًاsyu’ub pada ayat tersebut dijelaskan
pada tafsir Ibnu Kasir adalah penduduk negeri lain, sedangkan kata قَبَائِلَqabail ialah penduduk negeri Arab.
Quraish Shihab menjelaskan kata شُعُوبًا bentuk jamak dari kata شعبsya’b, kata ini digunakan untuk
menunjuk kumpulan dari sekian قبيلةqabilah
yang bermakna suku atau kumpulan yang merujuk kepada satu kakek. Sedangkan
Kamal Faqih Imani tidak menjelaskan secara rinci pengertian kata شُعُوبًا dan قَبَائِلَ, beliau menyebutkan bahwa Allah swt menciptakan karakteristik yang berbeda
pada setiap suku bukan sebagai diskriminasi, melainkan untuk memelihara tatanan
sosial, karena karakteristik yang berbeda seperti itu justru memberikan
“kekayaan” dalam jati diri kelompok-kelompok manusia.
Dalam tafsir Al-Misbah, kata تَعَارَفُواta’arofu
terambil dari kata عَرَف‘arafa yang berarti mengenal. Semakin kuat pengenalan satu
pihak kepada pihak lainnya, semakin terbuka peluang untuk memberi manfaat.
Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling mengambil pelajaran dan pengalaman,
untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt yang dampaknya tercermin pada kedamaian
dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrowi. Abdullah menjelaskan
lebih lanjut, Mujahid berkata: “Sebagaimana dikatakan fulan bin fulan. Sufyan
Ats-Tsauri berkata: ‘Orang-orang Humair menasabkan diri kepada kampung halaman
mereka. Sedangkan Arab Hijaz menasabkan diri kepada kabilah mereka.” Abu ‘Isa
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad saw beliau
bersabda: “Pelajarilah silsilah kalian yang dengannya kalian akan menyambung
tali kekeluargaan, karena menyambung tali kekeluargaan itu dapat menumbuhkan
kecintaan di dalam keluarga, kekayaan dalam harta, dan panjang umur.”
Quraish Shihab menjelaskan pada kata أَكْرَمَكُمْ, terambil dari kata كرَمَkarama
yang pada dasarnya berarti sifat yang
baik. Manusia yang baik dan istimewa adalah yang memiliki akhlak yang
baik terhadap Allah swt dan terhadap sesama makhluk. Kemudian sifat عليم‘alim dan خبيرkhabir keduanya mengandung makna
kemahatahuan Allah swt. Sementara ulama membedakan keduanya dengan menyatakan
bahwa ‘alim menggambarkan
pengetahuan-Nya menyangkut segala sesuatu. Penekanannya pada dzat Allah yang
bersifat Maha Mengetahui, bukan pada sesuatu yang diketahui itu. Sedangkan khabir menggambarkan pengetahuan-Nya
yang menjangkau sesuatu. Di sini, sisi penekanannya bukan pada dzat-Nya yang
Maha Mengetahui tetapi pada sesuatu yang diketahui itu. إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ menggabungkan dua sifat Allah SWT yang
bermakna mirip itu, hanya ditemukan tiga kali dalam Al-Qur’an. Konteks
ketiganya adalah pada hal-hal yang mustahil atau amat sangat sulit diketahui
manusia. Yang pertama kematian seseorang, yang kedua rahasia yang sangat
dipendam, dan yang ketiga kualitas ketakwaan dan kemuliaan seseorang di sisi
Allah SWT.
Abdullah membedakan derajat manusia di sisi Allah SWT
hanyalah ketakwaan bukan keturunan. Kemudian إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ maksudnya adalah Mahamengetahui (tentang) kalian semua dan Maha
Mengenal semua urusan kalian, sehingga dengan demikian Dia akan memberikan
petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, menyesatkan siapa yang Dia kehendaki
pula, menyayangi siapa yang Dia kehendaki, menimpa siksaan kepada siapa yang
Dia kehendaki, dan juga Dia Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, dan Maha Mengenal
tentang semua itu.
Sedangkan Kamal Faqih Imani menjelaskan tentang
ketakwaan kepada Allah swt sebagai kualitas jiwa yang menjadikan pemiliknya selalu tunduk di
hadapan perintah Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun demikian, tak sedikit orang yang
merasa memiliki kualitas tersebut, tetapi hanya sedikit orang yang benar-benar
memilikinya (secara murni). Kerena itu dalam ayat ini Allah swt tutup dengan
pernyataan bahwa, Allah SWT mengenal dengan baik orang-orang yang sholeh dan
sangat mengetahui derajat ketakwaan, ketulusan niat dan kemurnian hati setiap
orang.
Nilai-nilai Pancasila Sila Ketiga
Dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat Ayat 13
Salah satu karakteristik Indonesia
sebagai negara-bangsa adalah kebesaran, keluasan, dan kemajemukannya. Indonesia
memang negara yang besar, dapat terlihat dari segi geografis maupun demografis.
Selain jumlah penduduk dan luasnya wilayah, tanah Indonesia juga memiliki
sumber daya alam dengan tingkat kesuburan tanah yang tinggi, serta hasil laut
yang melimpah. Bangsa Indonesia memang ditakdirkan sebagai bangsa dengan corak
masyarakat yang plural. Pluralitas masyarakat Indonesia ditandai dengan
kenyataan adanya ikatan-ikatan sosial yang didasarkan pada perbedaan suku
bangsa, agama, serta adat istiadat.
Namun
bagaimanapun kemajemukan yang dimiliki suatu bangsa, selain merupakan potensi besar
yang baik, juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan bangsa
dan negara. Hal terpenting untuk tetap berdirinya suatu bangsa adalah adanya
perasaan kebersamaan dan persaudaraan sebagai anggota komunitas bangsa itu.
Sejarah mencatat bahwa, bangsa Indonesia lahir setelah melewati perjuangan
panjang dan mempersembahkan segenap pengorbanan dan penderitaan. Dengan disepakatinya Indonesia
sebagai negara-bangsa, maka dibutuhkan sebuah asas atau dasar yang bisa menjadi
landasan bagi seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas yang mengandung
nilai-nilai atau prinsip yang bisa menjadi titik temu seluruh komponen bangsa.
Karakter bangsa yang plural dan
dipenuhi dengan semangat
perjuangan inilah yang selanjutnya digunakan sebagai pandangan
hidup dan dasar
negara, yang terkristalkan
dalam bentuk Pancasila.
Pancasila merupakan penjelmaan dari jiwa
dan kepribadian bangsa, sekaligus
filsafat dan pandangan
hidup yang digali
melalui pemikiran akar budaya
bangsa. Sehingga Pancasila adalah titik temu dari pluralitas
bangsa Indonesia. Negara Indonesia menjadi perjanjian luhur bangsa, serta
Pancasila sebagai payung ke-bhineka-annyaDalam Pancasila Sila Ketiga yang
berbunyi Keragaman Indonesia, pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia
merupakan negara Kebangsaan. Bangsa yang memiliki kehendak untuk bersatu,
memiliki keragaman perangai karena keragaman nasib. Keragaman berarti
menyiratkan arti adanya keragaman, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Keragaman dalam
hal ini adalah keragaman kebangsaan Indonesia yang dibentuk atas bersatunya
beragam latar belakang sosial, budaya,
politik, agama, suku, dan ideologi yang berada di wilayah Indonesia.
Toleransi
mengarah pada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan,
baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat istiadat, budaya serta
agama. Dengan demikian, bagi manusia sudah selayaknya mengikuti petunjuk Allah
swt dalam menghadapi perbedaan-perbedaan tersebut. Karena Allah swt senantiasa
mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku,
warna kulit, adat istiadat dan sebagainya.
Sila
ketiga Pancasila yaitu “Keragaman Indonesia”, yang terdiri atas dua kata yaitu Keragaman (S) dan Indonesia
(ket). Kata keragaman terdiri atas akar kata “satu” + imbuhan per-/-an kemudian
menjadi “keragaman”. Secara morfologi kata keragaman berarti suatu hasil dari
perbuatan (nomina). Sedangkan dari sudut dinamikanya pengertian keragaman yaitu
suatu proses yang dinamis “Indonesia” adalah merupakan suatu kuantitas yaitu keragaman
untuk wilayah, bangsa dan negara. Prinsip-prinsip nasionalisme Indonesia (Keragaman
Indonesia) tersusun dalam kesatuan majemuk tunggal yaitu: (1.) Kesatuan
sejarah, yaitu bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam suatu proses
sejarah, sejak zaman prasejarah, Sriwijaya, Majapahit, Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928 dan sampai Proklamasi 1945 dan kemudian membentuk negara Republik
Indonesia. (2.) Kesatuan nasib, yaitu berada dalam satu proses sejarah yang sama
dan mengalami nasib yang sama yaitu dalam penderitaan penjajahan dan
kebahagiaan bersama. (3.) Kesatuan kebudayaan, yaitu keanekaragaman kebudayaan
tumbuh menjadi suatu bentuk kebudayaan nasional. (4.) Kesatuan wilayah, yaitu
keberadaan bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan wilayah tumpah darah
Indonesia. (5.) Kesatuan asas kerohanian, yaitu adanya ide, cita-cita dan
nilai-nilai kerohanian yang secara keseluruhan tersimpul dalam Pancasila. Dalam
pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea II disebutkan suatu
negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Maka, kesatuan dan keragaman
bangsa adalah suatu hal yang penting, karena merupakan suatu sendi negara.
Negara Indonesia bukanlah merupakan negara bagian, dalam kalimat “Negara melindungi
segenap bangsa Indonesia” dan “seluruh tumpah darah Indonesia”. Tujuan yang
demikian mengandung arti bahwa negara Indonesia, bangsa Indonesia dan wilayah
tanah air Indonesia adalah merupakan suatu kesatuan. Pengertian “Keragaman
Indonesia” juga dijelaskan dalam penjelasan resmi Pembukaan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, bahwa mendirikan negara Indonesia, digunakan aliran
pengertian “Negara Keragaman” yaitu negara mengatasi segala paham golongan dan
paham perseorangan, jadi bukan negara berdasar individualisme, dan juga bukan
negara yang mengutamakan satu golongan. Maka negara Indonesia adalah negara
yang berdasarkan asas kekeluargaan, tolong menolong, dan dengan dasar keadilan
sosial. Maka dapat dipahami bahwa tujuan mendirikan negara Indonesia antara
lain adalah mengutamakan seluruh bangsa Indonesia.
Relevansi nilai-nilai Pancasila sila ketiga dalam surah
al-Hujurat ayat 13 dengankehidupan sosial masa ini.
Abdurrahman Wahid menyatakan Pancasila sebagai
falsafah negara berstatus sebagai kerangka berpikir yang harus diikuti dalam
menyusun undang-undang dan produk hukum yang lain, dalam merumuskan kebijakan
pemerintah dan dalam mengatur hubungan formal antar lembaga-lembaga dan
perorangan yang hidup dalam kawasan negara ini. Sedangkan Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia memiliki konsekuensi segala peraturan perundang-undangan
dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila. Dengan lain perkataan Pancasila
merupakan sumber hukum dasar Indonesia, sehingga seluruh peraturan hukum
positif Indonesia diderivasikan atau dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila.
Menurut Yudi Latief, Pancasila sebagai pandangan hidup
selama ini telah dicampakan oleh elit negara dan tidak lagi menjadi dasar dalam
mengambil kebijakan. Ada ketidak konsistenan, para elit selalu mengumbar kata
pancasila sementara kebijakannya tidak berdasarkan falsafah Pancasila. seperti
kebijakan ekonomi yang seharusnya sesuai konstitusi dan Pancasila, namun
semakin lama justru semakin melenceng. Pelaksanaan pasal 33 yang seharusnya
menjadikan sumber daya alam sebagai alat untuk mewujudkan keadilan sosial,
namun justru kini dikuasai asing.Ia menambahkan, Pancasila sebagai falsafah
bernegara, berbangsa dan bermasyarakat tidak bertentangan dengan nilai-nilai
agama. Bahkan cocok dengan nilai-nilai agama, karena memang digali dari
kehidupan masyarakat Indonesia yang beragama
Pada sila
keempat, tercantum nilai mengenai tanggung jawab dan harmoni. Nilai ini
merupakan nilai yang kental bagi Indonesia yang menganut budaya demokrasi.
Nilai sila keempat lah yang mendasari warga negara untuk dapat memahami
keputusan yang diambil pemimpin (yang awalnya dipilih secara bersama pula)
untuk kemaslahatan bersama. Nilai keempat ini juga berhubungan dengan keutamaan
keadilan dan transendensi.
Sila terakhir
Pancasila mengenai keadilan sosial yang harus diwujudkan di Indonesia. Sila ini
mengisyaratkan bahwa keadilan sosial adalah sesuatu yang memang diharapkan ada
di masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah pun menjadi pihak yang diharapkan
dapat membantu terwujudnya keadilan sosial di masyarakat. Penelitian yang
dilakukan Meinarno menunjukkan bahwa nilai kelima ini mempunyai korelasi dengan
keutamaan keadilan dan transedensi. Nilai kelima ini erat dengan bagaimana rasa
adil tidak semata untuk diri, tapi untuk masyarakat tempat individu berada.
Dapat
terlihat jelas sila-sila pada Pancasila
saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Singkatnya, jika masyarakat
Indonesia yang berketuhanan mengaplikasikan nilai kemanusiaan, nilai keragaman,
serta nilai demokrasi terhadap
sesamanya, maka bukan hal yang tidak mungkin keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia itu terwujud.
Pancasila
sebagai suatu ideologi tidakbersifat kaku dan tertutup, namun bersifat
reformatif, dinamis dan terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila
adalah bersifataktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan
dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika
perkembangan aspirasi masyarakat. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti
mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya, namun mengeksplisitkan
wawasannya secara lebih konkrit, sehingga memiliki kemampuan yang reformatif
untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang senantiasa berkembang seiring
dengan aspirasi rakyat.
Sesuai dengan
pembahasan di atas, maka penulis sangat setuju jika Pancasila masih sangat
relevan hingga saat ini untuk bangsa Indonesia, karena pada hakikatnya
nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila bersifat universal dan tetap.
Sedangkan penjabaran dan realisasinya dapat dilakukan secara dinamis sesuai
dinamika aspirasi masyarakat.
Kesimpulan
Abdurrahman
Wahid menyatakan Pancasila sebagai falsafah negara berstatus sebagai kerangka
berpikir yang harus diikuti dalam menyusun undang-undang dan produk hukum yang
lain, dalam merumuskan kebijakan pemerintah dan dalam mengatur hubungan formal
antar lembaga-lembaga dan perorangan yang hidup dalam kawasan negara ini.
Tetapi sangat disayangkan, Pancasila sebagai ideologi negara belum serius
diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat
digambarkan dari berbagai pandangan berikut ini; adanya kecendrungan Pancasila
dicampakkan oleh elit negara, dampak globalisasi yang tidak terkontrol, dan
Munculnya ideologi ‘tandingan’ Pancasila. Dengan kenyataan ini Pemerintah harus
lebih waspada terhadap organisasi kemasyarakatan maupun perorangan yang
melakukan aktivitas-aktivitas yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
merongrong kewibawaan Pancasila. Demikian pula penanaman terhadap nilai-nilai
Pancasila terhadap Bangsa Indonesia harus dimulai sejak dini dan melalui segala
bidang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, 2017. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 9,
cet I, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.
Ahmad, 1994. Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lugah,
Beirut: Dar Al-Fiqr.
Ali, Muhammad. 2003. Teologi Pluralis Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin
Kebersamaan, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Al-Qurtubi, Muhammad. 2003. Al-Jami’ li Ahkam
Al-Qur’an, Juz XVI Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub.
Azzam, Shaheed Abdullah. 1993. Jihad Adab dan Hukumnya, Jakarta: Gema Insani Press.
Chirzin, Muhammad. 2014. Permata Al- Qur’an, Jakarta: PT Gramedia.
Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1982. Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Daerah
Sulawesi Tenggara, Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Doweng, Andreas. 2012. Pancasila Kekuatan Pembebas,
Cet. I, Jogyakarta: PT Kasinus.
Esfahani, Raghib. 2000. Mofradat Alfaz al-Qoran,
Qom: Intisyarot Zawil Qurba.
Faqih Imani, Kamal. 2013. Tafsir Nurul Quran,
Jilid 17, Jakarta: Nurul Huda.
Gunawan
Abdul Wahid, Wawan, dkk. 2015, Fikih Kebinekaan, Bandung: Mizan dan
Maarif Institute.
Imani, Kamal Faqih. 2103. Tafsir Nurul Qur’an,
Jilid 17, cet 1, Jakarta: Nurul Huda.
Imarah, Muhammad. 1999. Islam
dan Keamanan Sosial, cet I, Jakarta: Gema Insani Press.
Intan, Benyamin Fleming. 2008,
Public Relogions And The Pancasila-Based States of Indonesia; An Ethnical
and Sosiological Analysis, New York: Peter Lang.
Ismail, Achmad Satori. 2015. Merajut Tali temali
Ukhuwah, Jakarta: Pustaka Ikadi.
Juliardi, Budi. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan
untuk Perguruan Tinggi, cet IV Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kaelan, 2010. Pendidikan
Kewarganegaraan, Yogyakarta: Paradigma.
Latif, Yudi. 2015. Negara Paripurna: Historitas,
Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Cet V, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Masduha, 2017. Al-Faazh Memahami Kata-kata Dalam
AL-Qur’an, cet. I, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Nasir, Haedar. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis
Agama dan Budaya Yogyakarta: Multi Presindo.
Pranowo, M. Bambang. 2010. Multidimensi Ketahanan
Nasional, Cet. I Jakarta: Pustaka Alvabeta.
Ramadhani,
Sahara. 2018, Kuasai Percakapan Bahasa Arab, cet I, Yogyakarta: Mueeza.
Ridjin, Ketut. 2012. Pendidikan Pancasila,
Jakarta: PT Duta Prima.
Riyanto, Armada. dkk, 2015. Kearifan Lokal~Pancasila:
Butir-butir Filsafat Keindonesiaan, Yogyajarta: PT Kanisius.
Sairin, Weineta. 2006. Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa, Jakarta:
PT BPK Gunung Madu.
Shihab, M. Quraish. 1999 Membumikan Al-Qur’an:
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet XII, Bandung, Mizan.
Surachmad, Winarno. 1995. Pengantar
Penelitian-penelitian Ilmiah: Dasar Metode Teknik, Bandung: Tarsito
Rimbuan.
T. Pureklolon, Thomas. 2018. Nasionalisme,
Supremasi Perpolitikan Negara, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Pendidikan Islam,
cet IV Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Ubaedillah, A. dkk, 2016. Pancasila, Demokrasi, HAM
dan Masyarakat Madani, cet XIV Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
A.
Jurnal
A Meinarno, Eko. 2015. Pembuktian Kekuatan Hubungan
Antara Nilai-Nilai Pancasila dengan Kewarganegaraan, Depok, 2015.
https://tinyurl.com/y5s7sncu.
Agus, Aco. 2016. Relevansi Pancasila Sebagai
Ideologi Terbuka di Era Reformasi, Makassar. https://tinyurl.com/yxsfzq4q.
Alifuddin
Ikhsan, M. 2017, Nilai-nilai Cinta Tanah Air Dalam Perspektif Al-Qur’an,
Malang, https://tinyurl.com/y6ymybsk.
Aristin,
Rini. 2017, Jurnal Ilmiah Administrasi
negara, Vol. 2, No. 2, Malang, https://tinyurl.com/y33r8yxf.
Baidhawy, Zakiyuddin. Pancasila Tauhid Sosial Dalam
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, https://tinyurl.com/y6xcems7.
Bakar, Abu. 2015, Konsep Toleransi dan Kebebasan
Beragama, Vol VII, No. 2, Riau.
Chozin, Muhammad Ali. Peran Asas Tunggal Dalam
Membendung Gerakan Ideologi Islam Garis Keras, https://tinyurl.com/y5arhbwj.
Darmayati, Okta. 2015, Pengaruh Budaya Dan
Lingkungan Sekolah Terhadap Sikap Nasionalisme Siswa, Lampung. https://tinyurl.com/y4mkrv2r.
Edi Swasono, Sri. 2016. Pancasila Azas Bersama: Pancasila Eksistensialisme Bangsa Indonesia, Jakarta
https://tinyurl.com/y36vsbgm.
Hanafi, Hakekat Nilai Keragaman Dalam Konteks
Indonesia: Sebuah Tinjauan Husin Affan, Muhammad. 2016, Membangun
Kembali Sikap Nasionalisme Bangsa Indonesia Dalam Menangkal Budaya Asing di Era
Globalisasi, Vol. 4, Aceh, https://tinyurl.com/y4ya9oj2.
Irham, Aqil. 2015. Islam dan Pembauran Sosial:
Rekonstruksi Fenomena Multikulturalisme, Vol. 1, No.2 2015 Lampung.https://tinyurl.com/ydzatlx8.
Johan Putra, Rio. 2018, Pengaruh Patriotisme,
Commitment, dan Caputilation Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Penyampaian
SPT Tahunan Orang Pribadi, Jakarta, https://tinyurl.com/y53bdrse.
Kamil Pasya, Gurniwan. 2011, Gotong-royong dalam
Kehidupan Masyarakat, Vol 1, No. 1.
Latief, Yudi. 2011. Menghidupkan Pancasila,
Jakarta. https://tinyurl.com/y6yyz67u.
Lucky, Nella. 2013. Jurnal
Perempuan, Agama dan Jender, ejournal.uin-suska.ac.id.
Mardhiah, Izzatul. 2017, Menumbuhkan Rasa Cinta
Tanah Air Melalui Pengembangan Ekopesantren¸ Vol. 1, No. 1, Jakarta, https://tinyurl.com/yykqo7xn.
Muhtadin, Khoirul. Bela
negara Dalam Pandangan Al-Qur’an, https://www.academia.edu/12368088_Negara_Dalam_Pandangan_Al-Qur’an.
Murniah, Dad. 2016, Nasionalisme dalam Sastra
Indonesia, Jakarta.
Muslimin, Husein. 2016. Tantangan Terhadap
Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara Pasca Reformasi, Malang. http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jch.
Nugroho, Iwan. 2010. Meningkatkan Nasionalisme
Dalam Pembangunan Wilayah Guna Pemberdayaan Kewirausahaan Dalam Rangka
Pembangunan Nasional, Malang. https://tinyurl.com/yyx9wk9u.
Pelangi, Intan. 2009. Perguruan Tinggi Sebagai
Wadah Utama Pembinaan Dan Penguatan Rasa Nasionalisme Dan Sadar Hukum Bagi
Penerus (Sebuah Orientasi Pencegahan Mental Koruptif), Surakarta.
https://tinyurl.com/y4dru9a8.
Puji
Asmaroini, Ambiro. 2017. Menjaga Eksistensi Pancasila Dan Penerapannya Bagi
Masyarakat Di Era Globalisasi, Ponorogo. https://tinyurl.com/y5s7sncu.
Pursika, 2009, Kajian
Analitik Terhadap Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, Jurnal Pendidikan dan
Pengajaran, Jil. 42, Nomor 1. https://tinyurl.com/y5wqr2ct.
Sintya
Hapsari Putri, Ayu. 2018. Penanaman Nilai Nasionalisme Melalui Kegiatan
Upacara Hari Senin, Surakarta. https://tinyurl.com/yxnlpwfh.
Siska Pradini, Herlinda. dkk. 2016. Pengaruh Patriotisme,
Korupsi dan Pungli Terhadap Kepatuhan Perpajakan, Lampung.
Siswanto, 2017, Mencintai Produk Dalam Negeri
Sebagai Manifestasi Bela Negara Di Era Global, Jakarta,
https://tinyurl.com/y2x5d593.
Siti Aulia, Syifa. 2017. Pancasila Di Arus
Globalisasi Dalam Memperkuat Reformasi Moral Indonesia, Yogyakarta.
https://tinyurl.com/y36q87ns.
Surachman, Eman. Dimensi Teologis dan Sosiologis
dalam Relasi Antar Umat Beragama, https://tinyurl.com/y5fn6ga6.
Suriata, Nengah. 2019. Aktualisasi Kesadaran Bela Negara Bagi Generasi Muda dalam Meningkatkan
Ketahanan Nasional, vol. 4 no.1 https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/public-inspiration.
Suryowati, Estu.
Asal Muasal Penelitian Kemendikbud dan Temuan Sikap Intoleran di
Sekolah, http://nasional.kompas.com/read/2017/05/03/14380761.
Tjarsono, Idjang. 2013 Demokrasi Pancasila dan Bhineka
Tunggal Ika Solusi Heterogenitashttp://ejournal.darmayatiunri.ac.id.
B.
Kamus
Ali, Atabik. 2010. Kamus Inggris, Yogyakarta:
Multi Karya Grafika.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995. Kamus
Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka.
Munawwir, Ahmad Warson. Al- Munawwir: Kamus Bahasa
Arab-Indonesia Terlengkap Surabaya: Pustaka Progressif.
Tim Prima Tema, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Gramedia Press.